Momentum Bulan Suro, Melihat Potensi Wisata Budaya di Kabupaten Gresik
GREBEK SURO. Sejumlah warga di Desa Wonokerto berebut berbagai hasil pertanian dan perkebunan yang disediakan di gunungan.
Nahdliyingresik.id – Bulan Suro selalu punya cara untuk mengetuk kesadaran budaya. Bulan pertama dalam penanggalan Jawa ini, yang bertepatan dengan Muharram dalam kalender Hijriyah, menyimpan begitu banyak tradisi, simbol, dan spiritualitas yang telah lama mengakar di masyarakat.
Tahun 2025 ini, menyadari betapa penting untuk menelisik kembali berbagai praktik budaya yang mewarnai bulan yang oleh orang Jawa dianggap sakral, bahkan sering disebut wingit.
Dorongan untuk menyimak kembali keluhuran budaya, salah satunya terpantik oleh sebuah unggahan teman dari Desa Wonokerto, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Ali Murtadlo. Ia secara konsisten dn mandiri menginisiasi serta menghidupkan kembali tradisi Grebeg Suro.
Dalam video singkat yang dibagikan, tampak warga berkumpul, membaca doa, bershalawat, dan mengikuti prosesi ruwatan bersama dengan khidmat. Ditutup dengan tiga gunungan, yang menjadi ajang rebutan warga—satu di antaranya khusus disiapkan untuk anak-anak.
“Alhamdulillah, sukses,” ujar Pak Ali. Ia berkisah, bahwa inisiatif ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal 2000-an, hanya saja baru beberapa tahun terakhir mulai digelar untuk masyarakat umum.
Penasaran, apa yang membuat pak Ali menggelar ini, pun mendapat jawaban yang membangkitkan ingatan. Kesimpulanya, kegiatan Grebeg Suro yang diselenggarakan di Langgar Kahuripan di Desa Wonokerto itu merupakan kegiatan untuk mengingatkan dakwah ala Walisongo. Pak Ali menyebut salah satunya ialah Sunan Bonang.
Yang menarik, kegiatan seperti ini sesungguhnya memiliki potensi besar sebagai wisata budaya lokal. Gresik, selama ini dikenal sebagai kota santri, kota industri, kota pesisir, dan kota sejarah. Tapi Gresik juga menyimpan lapisan-lapisan kebudayaan yang masih terpendam, yang kalau diolah dengan baik bisa menjadi kekuatan baru—baik dari sisi ekonomi kreatif maupun diplomasi budaya.
Ambil contoh lain: tradisi Jamasan Pusaka. Betapa bisa dibayangkan kalau Museum Kanjeng Sepuh di Sidayu—yang menyimpan berbagai benda pusaka seperti keris, tombak, dan pedang—dapat menjadi pusat kegiatan jamasan massal setiap bulan Suro. Bukan sekadar ritual pembersihan benda pusaka, tetapi dirancang sebagai perayaan kebudayaan yang mengundang partisipasi publik, utamanya generasi muda sebagai penjaga denyut budaya.
Bayangkan jika ini dijadikan agenda tahunan, melibatkan komunitas budaya, pelaku UMKM, pemuda desa, dan tentunya pemerintah daerah. Pantura Gresik bisa menjadi poros wisata budaya yang tak hanya menampilkan warisan benda, tetapi juga warisan makna.
Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti orang akan berbondong-bondong ke Gresik setiap memasuki bulan Suro. Bukan hanya untuk menyaksikan berbagai pertunjukan budaya, tetapi untuk mengalami kearifan lokal yang menghubungkan spiritualitas, tradisi, dan kebersamaan. Seperti halnya Grebeg Maulid di Demak atau Sekaten di Jogja, Gresik juga punya potensi kultural serupa. Tinggal bagaimana kita mau menyalakan kembali api tradisi itu—dari desa, dari langgar kecil, dari hati yang mencintai budaya.
Bulan Suro kali ini mestinya tidak sekadar dilewati, tapi dijadikan momentum. Bukan hanya untuk menghidupkan ulang tradisi, tapi juga membentuk ekosistem budaya yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat.
Belum ada Komentar untuk "Momentum Bulan Suro, Melihat Potensi Wisata Budaya di Kabupaten Gresik"
Posting Komentar